Di Balik Kontroversi Kebijakan di Akhir Rezim Jokowi

0
92

Surat Kabar Nasional.com Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menyiapkan kebijakan strategis di akhir jabatannya ketimbang menyiapkan transisi politik untuk kepemimpinan presiden terpilih, Prabowo Subianto.

Kebijakan bagi-bagi izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan alias ormas keagamaan, ketidakpastian tentang pengenaan PPN 12%, wacana membentuk family office, aturan tentang pengelolaan lahan Ibu Kota Negara, iuran wajib Tapera, perombakan wakil menteri, hingga yang terbaru tentang pembatasan penjualan rokok eceran adalah contohnya.

Adapun sesuai dengan aturan yang berlaku, Jokowi akan mengakhiri masa jabatannya pada Oktober 2024. Ia akan purna tugas setelah 10 tahun memimpin Indonesia. Ada banyak capaian, namun demikian, utang yang menumpuk, stagnasi ekonomi, hingga rasio pajak yang masih berada di kisaran 10-11% menjadi kendala pemerintahan baru untuk melakukan ekspansi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa sejumlah kebijakan strategis yang keluar last minute menunjukkan bahwa Jokowi sedang mempersiapkan perangkat kebijakan, termasuk pergantian kabinet, supaya transisi pemerintahan prabowo ke depan lebih mulus.

“Ini karena mengusung keberlanjutan, jadi Prabowo mungkin tidak perlu melakukan perubahan kebijakan baru di tahun pertama, karena sudah dihandle jokowi,” ujar Bhima, Rabu (31/7/2024).

Bhima juga membaca bahwa langkah Jokowi tersebut juga bagian dari branding politik, supaya ia dikenal sebagai presiden yang investor friendly misalnya dengan mengeluarkan kebijakan golden visa, dan HGU IKN 190 tahun serta wacana perangkat kebijakan untuk tarik dana orang super kaya.

Selain itu, kata Bhima, ada juga kebutuhan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dengan signaling kebijakan pro investasi jelang masa transisi.

“Intinya jokowi mau dikenang memiliki legacy kebijakan ekonomi yang pro investasi, dan pro rakyat dengan tetap menahan harga bbm subsidi tidak naik, meski kebijakan di masa injury time tadi tentunya berimplikasi pada semakin berat beban APBN.”

Berbeda dengan Bhima, anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menyarankan pemerintah membatalkan kebijakan pemerintah yang kontroversial, termasuk soal pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan. Ia menuturkan bahwa kebijakan tersebut bisa menimbulkan kegaduhan nasional.  Dia mengimbau kepada Presiden Jokowi agar tidak membuat kekacauan menjelang akhir masa jabatannya, sehingga Presiden Jokowi bisa landing dengan aman.

“Menjelang purna tugas, Pemerintah itu semestinya bersiap-siap pamit mundur dan memberi jalan kepada Presiden Terpilih. Bukan malah ngegas kejar tayang saat injury time. Umur Indonesia masih panjang,” tuturnya.

Menurutnya, setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, saat ini Ormas Persatuan Islam (PERSIS) menyatakan ingin mengelola tambang. Bahkan, menurut Mulyanto, MUI tengah mengkaji untuk ikut memanfaatkan peluang konsesi pertambangan.  Kondisi tersebut, menurut Mulyanto, dapat menimbulkan kecemburuan sosial antar ormas di Indonesia. Pasalnya, Mulyanto meyakini ormas kepemudaan dan lainnya bakal menginginkan konsesi tambang juga

“Akhirnya tata kelola pemerintahan yang baik menguap, karena kita tidak bisa lagi membedakan tugas, fungsi, dan program-kegiatan antara sektor privat,” ujarnya.