Surat Kabar Nasional.com Bedouin, menurut Britannica, adalah masyarakat nomaden berbahasa Arab di gurun-gurun pasir di Timur Tengah, khususnya Afrika Utara, Jazirah Arab, Mesir, Israel, Irak, Suriah, dan Yordania. Kebanyakan mereka merupakan penggembala ternak yang bermigrasi ke gurun pasir selama musim dinging yang basah dan kembali ke lahan pertanian di bulan-bulan musim panas yang kering.
Suku-suku Bedouin secara tradisional dikelompokan menurut jenis hewan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Para pengembara yang memelihara unta menempati wilayah yang luas dan terorganisir dalam suku-suku besar di gurun Sahara, Suriah, dan Arab.
Pengembara yang memelihara domba dan kambing memiliki wilayah jelajah yang lebih kecil, sebagian besar tinggal di dekat daerah pertanian di Yordania, Suriah, dan Irak. Pengembara yang memelihara sapi banyak ditemukan di Arab Selatan dan Sudan, di mana mereka disebut Baqqarah (Baggara).
Masih menurut Britannica, masyarakat Bedouin bersifat kesukuan dan patriarki, biasanya terdiri dari keluarga besar yang patrilineal, endogami, dan poligini. Kepala keluarga, serta setiap unit sosial yang lebih besar yang membentuk struktur suku, disebut syekh.
Selain suku-suku “bangsawan” yang merunut nenek moyangnya berasal dari Qaysi (Arab utara) atau Yamani (Arab selatan), masyarakat Bedouin tradisional terdiri dari kelompok-kelompok “tanpa nenek moyang” yang tersebar dan berlindung di bawah perlindungan suku-suku bangsawan besar dan mencari nafkah dengan melayani mereka sebagai pandai besi, tukang, perajin, penghibur, dan pekerja lainnya.
Kemunculan negara-negara modern di Timur Tengah sangat berdampak pada cara hidup tradisional orang-orang Bedouin. Setelah Perang Dunia I, suku-suku Bedouin harus tunduk pada kendali pemerintah negara di mana wilayah pengembaraan mereka berada.
Pada paruh kedua abad ke-20, masyarakat Bedouin menghadapi tekanan baru untuk meninggalkan nomadisme. Sejumlah pemerintahan di Timur Tengah menasionalisasi lahan penggembalaan orang-orang Bedouin, memberlakukan batasan baru pada pergerakan dan penggembalaan suku-suku Bedouin, dan banyak juga yang menerapkan program pemukiman yang memaksa komunitas Bedouin menjalani gaya hidup menetap atau semi menetap.
Suku Bedouin merupakan penduduk asli di daerah gurun Negev di Israel selatan. Mereka menyebut gurun itu Naqab. Mereka sebagian besar mengidentifikasi diri sebagai orang Arab Palestina tetapi menggunakan istilah Bedouin untuk merujuk pada cara hidup nomaden mereka.
Minority Rights Group, organisasi hak asasi manusia yang berbasis di London, mengatakan bahwa dari 92.000 lebih orang Bedouin yang tinggal di Negev tahun 1947, hanya 11.000 orang yang tersisa setelah berdirinya negara Israel. Sisanya tidak pernah sepenuhnya terdata. Mereka yang masih tersisa umumnya hidup dalam kondisi memprihatinkan, diperlakukan secara sangat kasar oleh Israel.
Mereka terus-menerus diusir dan dipaksa hidup dalam pengungsian atau area reservasi. Pada tahun 2018 terdapat sekitar 200.000 orang Bedouin di Israel, termasuk sekitar 80.000-90.000 orang yang tinggal di 35 ‘desa yang tidak dikenal’ dan selalu mendapat ancaman penggusuran atau pemindahan paksa oleh pihak berwenang.
Sementara menurut Perpustakaan Nasional Israel (National Library of Israel), terdapat hampir 250.000 orang Bedouin di Israel, banyak di antaranya tinggal di kota-kota yang belum mendapat pengakuan dari negara, sementara yang lain tinggal di desa-desa yang tidak memiliki hubungan dengan Israel.
Walau beberapa orang mengidentifikasi diri sebagai orang Bedouin Israel, yang lain menganggap diri mereka sebagai warga Palestina di Israel. Berbeda dengan warga Yahudi Israel, orang Bedouin tidak diharuskan untuk bertugas di militer Israel. Namun beberapa orang Bedouin memilih untuk menjadi sukarelawan di militer.
Mereka sering kali bertugas di unit khusus seperti Gadsar 585, yang dikenal sebagai batalion Bedouin, yang beroperasi di gurun Negev. Sejarah Orang Bedouin di Negev Sebelum pembentukan negara Israel tahun 1948, orang-orang Bedouin yang tinggal di Negev memiliki tanah, baik secara individul maupun komunal, berdasarkan sistem kepemilikan tradisional yang jelas.
Menurut Minority Rights Group, sejak tahun 1948 pemerintah Israel menerapkan serangkaian kebijakan yang dirancang untuk mengambil alih tanah orang-orang Bedouin. Pertama, pemerintah Israel memaksa suku-suku Bedouin masuk ke wilayah yang lebih kecil di Negev yang dikenal sebagai ‘Siyag’ (dalam bahasa Arab artinya “pagar”).
Sejumlah keluarga Bedouin sudah tinggal di wilayah yang ditentukan itu dan kedatangan para pengungsi menyebabkan kebingungan dan perselisihan di masyarakat. Siyag itu memiliki luas sekitar 1,5 juta dunam (150 ribu hektar), bandingkan dengan wilayah seluas 13 juta dunam (1,3 juta hektar) yang merupakan tempat tinggal orang Bedouin sebelumnya.
Selama dan setelah perang tahun 1948 yang disusul dengan deklarasi kemerdekaan Israel, sebagian besar orang Bedouin diusir atau meninggalkan rumah mereka dan pindah ke Yordania, Suriah, Tepi Barat, dan Gaza. Akibatnya, populasi orang Bedouin di Negev menyusut dari 92.000 orang menjadi hanya 11.000.

