Surat Kabar Nasional.com – Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) melalui Kelompok Keahlian Literasi Budaya Visual (KK LBV) menggelar konferensi internasional bertajuk Bandung International Conference for Cultural Studies (BaiconFocus) pada 16-17 Oktober 2024 membahas Ai.
Mengusung tajuk “Interpreting the Global/Local Culture against the Challenge of Artificial Intelligence and Machine Learning”, konferensi ini mengangkat isu tantangan budaya di tengah pesatnya perkembangan AI alias kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin
“Pada konferensi ini, kita membahas, memperdebatkan, mendefinisikan, merancang, berpikir, dan mengkritik banyak aspek perangkat lunak kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin yang memengaruhi elemen budaya kita. Apakah itu akan menjadi masalah? atau itu adalah jendela peluang potensial yang bisa dan akan mendukung budaya kita?” kata Sekretaris ITB Widjaja Martokusumo dalam sambutannya pada pembukaan acara yang digelar di Gedung FSRD ITB tersebut Rabu, 16 Oktober 2024.
FSRD ITB menghadirkan sejumlah akademisi dari berbagai kampus di luar negeri untuk menjadi pembicara pada konferensi tersebut. Dua di antaranya adalah Masato Fukushima, profesor emeritus studi sosial sains di University of Tokyo, Jepang serta Natalya Lusty, Profesor Studi Budaya di University of Melbourne dan Australian Research Council Future Fellow (2018-2024). Dua pembicara tersebut mengisi hari pertama konferensi BaiconFocus 2024.
Dalam kesempatan tersebut, Fukushima memaparkan garis besar tentang berbagai signifikansi sosiokultural teknosains dari perspektif studi sains dan teknologi (STS). STS adalah bidang ilmu sosial interdisipliner yang sedang berkembang untuk mempelajari berbagai aspek perubahan yang sedang berlangsung dalam teknosains. Dia berfokus pada isu-isu yang terkait dengan teknologi yang sedang berkembang, termasuk AI generatif.
Sementara itu, Lusty memaparkan kajian terkait tantangan dan peluang yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan dan media sintetis. Dia menjelaskannya melalui dua sudut pandang, yakni melalui pelatihan sebagai akademisi studi budaya feminis dan karya ilmiahnya tentang seni dan budaya visual.
Ia menyebut bahwa kecerdasan buatan dan media sintetis telah menjadi vektor yang kuat untuk bentuk-bentuk intensif perampasan hak, eksploitasi, kapitalisme ekstraktif, neokolonialisme, dan degradasi lingkungan. Dia juga mengeksplorasi cara museum dan seniman dalam menggunakan AI untuk mencerminkan dunia utopis dan distopia.
Selain Fukushima dan Lusty, ada tiga pembicara internasional lainnya, yakni Martin Rendel dari University of Cologne (Jerman), Assc Prof. Mumtaz Mokhtar dari Universiti Teknologi MARA (Malaysia), serta Yasraf Amir Piliang dari ITB (Indonesia) yang akan mengisi hari kedua acara.
Ketua Baicon Focus 2024 Dana Waskita mengungkapkan bahwa konferensi ini diselenggarakan guna menjawab kebutuhan akan kegiatan untuk mengembangkan keilmuan tentang kebudayaan atau cultrual studies. Tema dan fokusnya sendiri disesuaikan dengan fenomena yang sedang trend di masyarakat era ini.
“AI merupakan salah satu pilihan yang dirasakan dampaknya cukup besar. Dan juga bisa berpengaruh pada arah kebudayaan dan peradaban. Topik yang kita kembangkan di konferensi ini ada tiga, yakni Visual Budaya, Budaya dan Peradaban, serta Bahasa dan Literasi,” kata Dana ketika ditemui .
Dana, mengutip paparan narasumber, menyoroti bahwa secara filosofi, teknologi itu bermuka dua atau dual face of technology. Pertama, bisa bermakna positif atau techno-optimism. Kedua, bisa dipandang sebagai ancaman atau techno-pessimism.
“Tentunya kita harus objektif melihat perkembangan AI berlandaskan kajian ilmiah. Oleh karena itu di konferensi ini kita coba kaji sikap kita terhadap AI,” jelas Dana.
Pada hari pertama konferensi, Dana menyebut pembahasan dimulai dengan pemahaman AI secara mendasar dengan mencoba melihat filosofi dari teknologi itu sendiri. Berikutnya, kata Danar, diskusi dikembangkan dengan mengkaitkan perkembangan AI dengan berbagai isu dan bidang.
Di hari kedua, Danar mengatakan pembahasannya berlanjut ke hal yang lebih spesifik. Ada pembahasan terkait masa depan pendidikan desain, pergeseran paradigma dalam seni visual, hingga persinggungan antara budaya lokal dan global.