Suratkabarnasional.com – Kerajaan Siau adalah salah satu kerajaan bercorak Kristen di Sulawesi Utara. Kerajaan ini didirikan oleh Lokongbanua II pada 1510, dan berdiri hingga setelah kemerdekaan Indonesia, yakni pada 1956 dengan raja terakhir Ch David. Menurut sejarah, Kerajaan Siau awalnya bercorak Katolik, yang kemudian berubah menjadi Protestan setelah menyepakati perjanjian dengan Belanda.
Sejarah berdirinya
Sejak abad ke-14, kerajaan-kerajaan kecil sudah mulai berdiri di Pulau Sulawesi, tetapi hanya sebagian yang mampu berkembang, salah satunya Kerajaan Siau. Kerajaan Siau terletak di bagian utara Sulawesi, tepatnya di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Sejarah berdirinya Kerajaan Siau berawal ketika Lokongbanua II melakukan musyawarah bersama para kolano (sebutan lain untuk raja). Hasil musyawarah adalah disepakati berdirinya Kerajaan Siau pada 1510 dengan Lokongbanua II sebagai raja pertamanya hingga 1549. Pusat pemerintahan kerajaan ini berada di Paseng, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro. Pada periode awal berdiri, Kerajaan Siau telah menjalin kontak dengan bangsa Portugis dan Spanyol, yang membuat kerajaan menjadi bercorak Katolik. Raja Posumah, yang naik takhta pada 1549, merupakan penganut Katolik yang dibaptis ketika berada di Manado dengan nama Don Jeronimo atau Hieronimus.
Setelah itu, rakyat Kerajaan Siau pun mengikuti jejak rajanya untuk menganut Katolik. Namun, penyebaran agama Katolik di Kerajaan Siau tidak berjalan pesat. Pembaptisan yang dilakukan tidak disertai dengan pembinaan rohaniawan Katolik yang kompeten, sehingga ajarannya mudah dilupakan.
Berubah menjadi kerajaan bercorak Kristen Protestan
Pada 1677, kondisi politik di Kerajaan Siau mulai mengalami perubahan setelah Belanda berhasil menduduki Siau dan mengusir bangsa Spanyol. Perjanjian pun dilakukan pada 9 November 1677, di mana Raja Siau mengakui pertuanan Belanda atas tanah negerinya. Selain itu, Kerajaan Siau beralih dari bercorak Katolik menjadi Kristen Protestan, mengikuti Belanda, serta menjadikan musuh VOC sebagai musuh Siau. Di samping alasan agama, kedatangan VOC ke Kerajaan Siau tidak lain karena masalah perekonomian. Siau diketahui sebagai daerah penghasil cengkeh, sehingga VOC tertarik untuk menjadikan Kerajaan Siau sebagai mitra dagang mereka. Dalam perkembangannya, terdapat Raja Siau yang berani menentang Belanda, yakni Jacob Ponto (1851-1889). Karena keberaniannya, ia disingkirkan oleh Belanda dengan cara diasingkan ke Cirebon, Jawa Barat.
Setelah itu, takhta kerajaan jatuh kepada Lemuel David (1890-1895), yang memindahkan pusat pemerintahan dari Siau Barat ke Siau Timur.
Raja setelah Lemuel David kembali bekerja sama dengan Belanda. Hal ini membuat Siau menerima subsidi dari Pemerintah Belanda guna membangun kota, mendirikan sekolah, dan menghidupkan kembali angkatan militernya.
Runtuhnya Kerajaan Siau
Ketika pergerakan nasional, Raja Siau berusaha netral karena kerajaannya diawasi dengan ketat oleh Belanda. Semangat rakyat Siau untuk melawan penjajah baru terbangun setelah kedatangan tokoh pergerakan nasional bernama JB Dauhan, yang dekat dengan Soekarno. Namun, JB Dauhan akhirnya meninggal di tangan Belanda setelah ketahuan menyelenggarakan pertemuan dan membangkitkan semangat kemerdekaan pada rakyat Siau. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, Kerajaan Siau mulai dihuni oleh para kaum pro-republik. Seiring berjalannya waktu, Kerajaan Siau sudah tidak berfungsi sebagaimana harusnya dan riwayatnya berakhir pada 1956 dengan raja terakhirnya, Ch David.
Raja-raja Kerajaan Siau
Lokongbanua II (1510–1549)
Posumah (1549–1587)
Wuisang (1587–1591)
Winsulangi (1591–1639)
Batahi (1639–1678)
Monasehiwu (1678–1680)
Pareme Nusa (1680–1716)
Daniel Jacobus Lohintadali (1716–1752)
Ismael Jacobus (1752–1788)
Ericus Jacobus (1788–1790)
Eugenius Jacobus (1790–1821)
Fransisco Tapianus Paparang Batahi (1822-1839)
Nikolaus Ponto Tawere (1839-1842)
Markus Dulage (1842-1850)
Jacob Ponto (1851-1889)
Lemuel David (1890-1895)
MD Kansil (1900-1908)
AJ Mohede (1908-1913)
AJK Bogar (1913-1918)
AD Laihad (1918-1920)
LN Kansil (1920-1929)
Aling Janis (1930-1935) P
aul Frederik Parengkuan (1936-1946)
Ch David (1946-1956)