Home All Nusantara Mengenal Desa Tenganan, Desa Bali Aga yang Pertahankan Tradisi Leluhur
Suratkabarnasional.com – Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem, termasuk satu di antara beberapa desa kuno di Bali yang dikenal dengan istilah Desa Bali Aga. Desa Bali Aga merujuk pada desa dengan sejarah masyarakat setempatnya, termasuk budaya, adat, dan tradisi yang berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya.
Masyarakat Bali Aga biasanya dikenal sebagai masyarakat yang mempertahankan tradisi leluhur sebelum invansi Kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Adat dan tradisi di Desa Tenganan selama ini memang sedikit berbeda dengan desa adat lainnya di Bali, walaupun penduduknya sama-sama menganut Agama Hindu.
1. Nama Tenganan berkaitan dengan cerita mitologi hilangnya kuda pada masa Kerajaan Bedahulu
instagram.com/topisayakuning
Dilansir dari laman Kementerian kebudayaan dan Kebudayaan, sejarah dari Desa Adat Tenganan Pegringsingan erat dikaitkan dengan cerita mitologi hilangnya kuda pada masa Kerajaan Bedahulu. Pada masa itu, masyarakat di Desa Peneges yang terletak di Kabupaten Gianyar dilarang melakukan persembahyangan di Pura Besakih oleh sang Raja Bedahulu pada masa itu, Mayadenawa. Hal ini membuat Dewa Indra murka dan memerangi Mayadenawa hingga sang raja wafat.
Hal ini membuat warga Desa Peneges bersuka-ria dan mereka mulai kembali melaksanakan persembahyangan di Pura Besakih. Upacara kemenangan masyarakat atas Raja Mayadenawa ini dilakukan dengan menghaturkan yadnya atau kurban menggunakan kuda berwana putih yang dinamakan Onceswara.
Hanya saja ketika upacara akan dilaksanakan, mendadak kuda Onceswara ini hilang. Semua warga Desa Peneges mencari kuda tersebut dengan membagi kelompok. Kelompok pertama mencari ke arah barat laut dan kelompok kedua mencari ke arah timur laut.
Kelompok pertama tidak berhasil menemukan kuda tersebut dan menetap di wilayah sekitar wilayah Beratan. Sementara kelompok kedua berhasil menemukan kuda itu, namun dalam keadaan mati. Walaupun kuda itu ditemukan mati, sang Dewa Indra tetap memberikan wilayah kepada masyarakat Desa Peneges yang melakukan pencarian ke Timur Laut. Lalu warga Peneges membangun sebuah desa di antara tiga bukit, yakni bukit kangin (timur), bukit kauh (barat), dan bukit kaja (utara).
Karena desa itu terletak di antara tiga buah bukit, maka desa ini disebut Tengahan, atau dalam perkembangannya menjadi Tenganan.
2. Masyarakat lokal menenun kain gringsing secara turun menurun
instagram.com/kadekmijil
Desa Tenganan juga sangat dikenal dengan hasil kebudayaannya yang diwariskan dan dijaga sampai saat ini. Satu di antaranya adalah kain asli dari Desa Tenganan, yakni kain gringsing. Tokoh masyarakat di Desa Tenganan, Putu Madri Atmaja, menjelaskan kain ini ditenun oleh masyarakat lokal secara turun menurun. Grinsing berasal dari kata gring yang artinya sakit, dan sing yang artinya tidak. Masyarakat setempat percaya kain ini dapat melindungi penggunanya dari wabah ataupun penyakit.
“Kain gringsing ini masih ditenun secara tradisional. Rata-rata membutuhkan waktu sampai dua tahun untuk menyelesaikan satu kain gringsing,” ungkapnya, Minggu (10/4/2022).
Teknik tenun kain gringsing menggunakan teknik tenun ikan ganda, serta pewarnaannya dengan bahan alami sehingga memang memerlukan waktu yang lama dalam proses pembuatannya. Karenanya harga kain khas Desa Tenganan ini bisa mencapai jutaan rupiah per lembarnya.
Sampai saat ini, masyarakat Desa Tenganan masih menjaga keleluhuran kain gringsing, dengan pembuatannya yang masih tradisional dan menggunakan pewarnaan bahan alami. Walaupun saat ini tengah berkembang berbagai teknologi tenun modern. Bahkan kain gringsing merupakan satu-satunya kain di Indonesia yang memiliki teknik ikat ganda, sehingga memiliki motif yang khas.
“Masyarakat Tenganan sampai saat ini masih menjaga keasrian kain gringsing, karena ini hasil budaya kami,” jelas Putu Madri.
3. Tradisi perang pandan atau mekare-mekare untuk menghormati Dewa Indra
Instagram.com/jahmelalibali
Mitologi masyarakat Tenganan tidak bisa lepas dari pengaruh Dewa Indra sebagai dewa pelindung. Menghormati Dewa Indra, masyarakat Tenganan sampai saat ini masih melestarikan tradisi perang pandan atau perang mekare-kare. Tradisi ini digelar setiap tahun.
“Biasanya tradisi ini digelar saat sasih (bulan) kelima atau sekitar bulan Juni,” jelas Putu Madri.
Tradisi ini biasanya diikuti oleh laki-laki dari Desa Tenganan, baik remaja, dewasa, maupun orang tua. Mereka akan dipersenjatai dengan pandan berduri sebagai simbol gada dan ulatan rotan sebagai tameng. Dalam tradisi ini para peserta akan berhadapan satu lawan satu dan saling menggeretkan pandan berduri pada tubuh lawan.
Darah yang muncul dari setiap peserta perang pandan ini sebagai persembahan kepada Dewa Indra.
“Nanti setelah perang pandan, para peserta ini saling mengobati luka dengan kunyit. Tidak ada permusuhan atau dendam dalam tradisi ini,” ungkap Putu Madri.
Tradisi ini biasanya yang paling ditunggu oleh wisatawan saat berkunjung ke Desa Tenganan. Bahkan fotografer dari berbagai negara sengaja ke Tenganan untuk mengabadikan tradisi unik ini.
4.Warga Tenganan memiliki tradisi nyepi adat selama 15 hariinstagram.com/wicky_adrianmasyarakat
Desa Tenganan juga memiliki tradisi Nyepi yang berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya. Masyarakat Tenganan memiliki tradisi Nyepi adat selama 15 hari, yang puncaknya pada Purnama Sasih Kaso.Biasanya dalam Nyepi adat ini, masyarakat Tenganan tidak tertawa, tidak menangis, tidak memukul kentongan, tidak menumbuk padi, dan tidak menyembelih babi atau ayam. Tidak ada sanksi khusus bagi warga jika melanggar aturan saat Nyepi itu, namun mereka tetap berusaha mematuhi tradisi.“Dalam tradisi ini, ada 29 warga yang ngayah (Membantu) di Bale Agung. Mereka biasanya menyiapkan berbagai sarana upacara untuk dihaturkan saat hari puncak pada Purnama Sasih Kaso,” jelasnya.Kekhasan tradisi dan budaya, membuat Desa Tenganan masuk 50 besar desa wisata terbaik tahun 2021 di ajang Anugrah Desa Wisata tahun 2021 yang digelar oleh Kemenparekraf. Desa Tenganan masuk dalam kategori desa maju dari sisi budaya.“Desa Tenganan dipilih karena kaya akan adat dan istiadatnya,” ujar Putu Madri.