Suratkabarnasional.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memiliki alat deteksi dini gempa hasil kerja sama dengan Institute of Care Life of China. Seperti apa cara kerja alat tersebut?
Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan pihaknya tengah menguji coba teknologi deteksi dini gempa bumi hasil kerja sama dengan China di 250 titik. “Kami fase eksperimen dengan China. Kami pasang alat di 250 titik dan sedang kami uji coba. Karena ada beberapa alat yang harus terus diujicobakan,” ujarnya dalam acara diskusi ‘Mitigasi Bahaya Secara Cepat Sebagai Upaya Antisipasi Dini Untuk Memahami Potensi Bahaya Gempa Bumi dan Risikonya’ di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Koordinator Earthquake Early Warning System (EEWS) BMKG Sigit Pramono menjelaskan deteksi dini gempa bukan prediksi gempa. Deteksi atau peringatan dini gempa justru dikeluarkan setelah gempa terjadi. “Istilah peringatan dini itu perlu diluruskan dulu. Jadi peringatan dini gempa bumi bukan prediksi dan gempanya sendiri sudah terjadi. Jadi rilis energi di pusat gempanya sudah terjadi,” katanya kepada CNNIndonesia.com di kantor BMKG, Selasa (7/3).
Program deteksi dini yang bekerja sama dengan ICL China ini sebetulnya sudah berlangsung sejak 2019. Kala itu, Deputi Geofisika BMKG Muhamad Sadly menyebut ada beberapa informasi yang dihasilkan oleh sistem EEWS, mulai dari intensitas gempa, waktu tiba, magnitudo, hingga lokasi gempa. Adapun teknologi EEWS yang akan dijadikan ujicoba pembangunan dan kerjasama ini mengacu kepada sistem EEWS di Negara China. Alat yang telah diuji coba sejak 2019 ini disebut bermanfaat untuk tindakan evakuasi dan tindakan mitigasi awal ketika gempa terjadi.
Informasi yang diberikan oleh sistem peringatan dini gempa ini mencakup : (1) estimasi intensitas gempa, (2) waktu tiba gelombang S, (3) estimasi magnitudo gempa, dan (4) lokasi episenter gempa,” ujar Sadly, seperti dikutip dari situs BMKG. Menurut Chinese Northwest Seismology (2002) Volume 22, ada korelasi antara waktu peringatan dini gempa EEWS dan rasio berkurangnya korban jiwa. Jika tersedia waktu emas selama 3 detik maka rasio berkurangnya korban mencapai 14 persen.
“Sedangkan jika tersedia waktu emas selama 10 detik maka rasio berkurangnya korban mencapai 39 persen, dan jika tersedia waktu emas selama 20 detik maka rasio berkurangnya korban mencapai 63 persen,” tutur Sadly. Lebih lanjut, Sigit menjelaskan golden time dari alat EEWS yang sudah dipasang saat ini berkisar dari 10 hingga 30 detik. “Golden timenya cukup singkat, hanya 30 detik kalau dari selatan Jawa. Kalau dari Cimandiri atau Lembang mungkin lebih pendek, 12 sampai 15 detik, atau bahkan 10 detik,” paparnya.
Meski waktunya cukup singkat, tetapi informasi ini dapat digunakan untuk melakukan tindakan mitigasi yang lebih dini untuk dikaitkan dengan sistem operasional.
“Misalnya, kereta cepat yang katanya akan membangun sistem EEWS, sistem ini akan dimanfaatkan. Jadi ketika kereta sedang jalan, ada gempa di selatan Jawa tapi gelombang S belum sampai ke relnya, sistem yang ada di BMKG memberikan informasi ke receiver-receiver yang ada di lintasan. Ini salah satu implementasinya,” terang Sigit. Saat ini alat deteksi dini EEWS sudah terpasang di selatan Jawa dan pesisir barat Sumatra hingga Nias. Pada awal program, BMKG mendapat peralatan deteksi dini ini dengan status hibah, sehingga biaya yang dikeluarkan hanya untuk operasional.
Cara kerja
Cara kerja alat deteksi dini gempa ini memanfaatkan gelombang P dan gelombang S. Kejadian gempa sendiri menghasilkan dua gelombang tersebut.
“Jadi secara umum dalam istilah kegempaan ada dua gelombang seismik, gelombang P dan gelombang S. Gelombang P itu menjalarnya lebih cepat, sehingga dia bisa mencapainya lebih dulu. Terus di belakangnya ada gelombang yang tipenya merusak, yakni gelombang S,” terang Sigit. Sebagai catatan, gelombang S adalah guncangan yang memberikan dampak kerusakan pada sebuah wilayah saat gempa terjadi.
Dengan memanfaatkan interval antara gelombang P dan gelombang S, BMKG dapat mengetahui kapan gelombang S yang merusak tersebut akan sampai di sebuah wilayah. Sensor yang dipasang di sejumlah titik tersebut akan menangkap gelombang P yang kemudian dikirim ke server untuk diolah. “Mereka mengirim data ke server, server lalu mengolah, beberapa detik langsung mengirim data ke receiver-receiver lain,” tutur Sigit.