Problematika Subsidi Energi di Indonesia

0
39

Surat Kabar Nasional.com Dalam simplifikasi kategoris, subsidi energi di Indonesia terdiri dari dua jenis utama: subsidi terselubung (implisit) dan subsidi langsung. Subsidi implisit diberikan berdasarkan peraturan khusus dari menteri sektor atau hierarki peraturan yang lebih tinggi seperti peraturan presiden.

Seringkali tidak terlihat oleh publik, tetapi memengaruhi harga dan alokasi energi. Subsidi langsung dialokasikan oleh menteri keuangan dan memerlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada dalam postur anggaran yang dalam APBN, dan disahkan melalui undang-undang. Kedua jenis subsidi ini memainkan peran penting dalam kebijakan energi nasional, meskipun mekanisme dan transparansinya berbeda.

Pengaturan harga batubara domestik dan harga serta alokasi gas bumi untuk pengguna tertentu adalah contoh subsidi implisit.

Sebagai implementasi lebih perinci dari Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Keputusan Menteri ESDM mengharuskan pemegang Izin Usaha Pertambangan Batubara untuk menjual 25% dari produksi tahunan mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk kebutuhan listrik dan industri.

Harga batubara untuk keperluan listrik umum ditetapkan sebesar US$70 per metrik ton (dengan kalori 6.322 kcal/kg GAR). Sementara itu, harga internasional batubara (Newcastle Coal) dengan kalori yang sama selama tiga tahun terakhir berada di atas US$ 120 per metrik ton dan pernah mencapai US$ 400 per metrik ton. Harga untuk kalori yang lebih rendah disesuaikan dengan formula tertentu.

Kebijakan ini bertujuan untuk membantu PT PLN (Persero) meningkatkan kapasitas layanan, memperluas akses listrik, meningkatkan efisiensi operasional, dan membangun infrastruktur energi berkelanjutan.

Pada tahun 2022, Indonesia memproduksi total 625 juta ton batubara, dengan 130 juta ton digunakan untuk keperluan listrik dan 40 juta ton untuk industri. Meskipun demikian, beberapa pihak mengkritik kebijakan tersebut dapat memperlambat adopsi energi terbarukan karena batubara tetap menjadi pilihan utama dan tidak selalu mencerminkan kinerja sebenarnya dari perusahaan yang terlibat.

Sebagai turunan dari Peraturan Presiden tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, Menteri ESDM menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk pengguna gas bumi tertentu. Pengguna gas ini meliputi perusahaan yang beroperasi dalam tujuh sektor industri, yaitu pabrik pupuk, pabrik petrokimia, pabrik oleokimia, pabrik baja, pabrik keramik, pabrik kaca, dan pabrik sarung tangan karet.

Harga gas di pintu pabrik (plant gate) bervariasi antara US$ 6 hingga US$ 7 per MMBTU. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri pengguna.
Namun, kebijakan ini mendapat kritik dengan beberapa alasan.

Pertama, kebijakan ini kurang mempertimbangkan risiko yang berbeda di seluruh rantai pasokan gas, mulai dari hulu (upstream), transportasi, hingga hilir (downstream). Selain itu, penurunan harga gas langsung membebani bagian hak (entitlement) pemerintah.

Kritik lainnya adalah mengapa subsidi diberikan kepada perusahaan daripada langsung kepada masyarakat pengguna. Juga, bagaimana mengukur efisiensi pabrik, misalnya apakah penggunaan volume gas yang sama di Indonesia menghasilkan pupuk dengan volume yang setara di negara lain.