Surat Kabar Nasional.com Saat ini ramai diperbincangkan mengenai program makan siang gratis atau makan bergizi gratis dari presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Soalnya, anggaran program itu turun menjadi hanya Rp7.500 per anak.
Menanggapi hal tersebut, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menegaskan bahwa hal ini menjadi bukti bahwa program ini dibuat tanpa pertimbangan matang dan sekadar lip service. “Seperti kebohongan publik. Jadi sekadar janji politik. Dia tidak mempertimbangkan akan ada konsekuensi bahwa kebijakannya tidak akan optimal. Jadi tidak bisa dieksekusi dan terkesan dipaksakan,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Kamis (18/7).
Trubus menambahkan bahwa hal ini juga bisa menjadi potret bahwa program lain di awal kampanye presiden dan wakil presiden terpilih perlu disoroti oleh publik. “Seperti janji penyediaan 3 juta rumah rakyat. Harus disoroti juga. Saya menduga programnya ini jadi program kebingungan. Bisa jadi karena anggaran yang tidak mencukup dan APBN yang tidak baik-baik saja. Masih banyak PSN (Proyek Strategis Nasional) yang butuh anggaran besar juga. Makanya ini akhirnya mau enggak mau mereka beralih kebijakan atau dalam bahasanya mengingkari janji politik,” tegas Trubus.
Menurutnya, ujung-ujungnya program makan siang gratis hanya akan bisa bertahan dalam waktu setahun atau dua tahun saja. Pasalnya, program ini hanya akan menambah beban keuangan negara.
“Jelas memperberat APBN. Belum lagi masalah utang. Pasti bakalan ambil utang lagi. Jadi masyarakat yang dibebankan seperti motor wajib asuransi, Tapera, BLT dihapuskan, dan lainnya. Ini memberatkan masyarakat,” tuturnya.
Secara terpisah, Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyu Askar menekankan bahwa pemangkasan anggaran makanan siang bergizi hingga Rp7.500 per porsi sebetulnya mencerminkan kekacauan dalam proses perencanaan kebijakan. “Program makanan siang bergizi belum direncanakan dengan matang terkait penganggarannya, siapa targetnya, dan apa dampaknya. Sejauh ini, program ini baru sebatas janji politik tanpa kejelasan implementasi,” ujar Wahyu.
Dia mengatakan bahwa ketika suatu program sudah masuk ke dalam program pemerintah, seharusnya ada naskah akademik yang jelas, besaran anggaran yang terperinci, dan target yang spesifik karena ini menggunakan anggaran dari pajak uang rakyat. “Hingga saat ini, hal-hal tersebut belum ada. Uang Rp71 triliun yang dianggarakan itu belum jelas targetnya, apakah bersifat universal atau untuk semua anak apapun latar belakang ekonominya atau hanya anak-anak dari keluarga tidak mampu, apakah program tersebut untuk anak-anak di kota besar atau khusus desa dan daerah terpencil. Bahkan di tingkat kementerian pun belum jelas siapa yang membawahi program ini,” ujarnya.
Menurut Wahyu, pemerintah yang menganggap Rp7.500 cukup untuk makanan bergizi bisa menunjukkan bahwa aspek gizi belum dianggap sebagai prioritas utama dalam kebijakan kesehatan dan pendidikan atau bahwa pengambil kebijakan kurang memahami standar kebutuhan gizi yang harus dipenuhi untuk mendukung pertumbuhan dan kesehatan anak-anak. (Z-2)