Suratkabarnasional.com – Rakai Panangkaran adalah raja kedua Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa pada sekitar tahun 746 hingga 784. Ia berkuasa setelah Ratu Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram Kuno sekaligus pendiri wangsa Sanjaya. Namun, terdapat perbedaan pendapat dari para ahli sejarah terkait asal-usul Rakai Panangkaran. Sebagian sejarawan menyebut Rakai Panangkaran adalah putra dari Raja Sanjaya. Sementara sebagian lainnya berargumen bahwa Rakai Panangkaran adalah anggota wangsa Syailendra.
Asal-usul Rakai Panangkaran
Sumber sejarah menyebut bahwa pengganti Ratu Sanjaya, pendiri dan raja pertama Mataram Kuno, adalah Rakai Panangkaran. Kendati demikian, tidak semua sejarawan sependapat bahwa Rakai Panangkaran adalah anak Ratu Sanjaya. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh minimnya sumber sejarah Kerajaan Mataram Kuno dan perbedaan tafsir di antara para ahli. Pada Prasasti Sankhara yang ditemukan di Sragen, Jawa Tengah, disebut seorang tokoh bernama Raja Sankhara yang berpindah agama dari Hindu Siwa ke Buddha. Disebutkan pula bahwa ayah Raja Sankhara, yang beragama Hindu Siwa, meninggal karena sakit. Setelah ayahnya meninggal, Raja Sankhara menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana dan memindahkan pusat kerajaan ke arah timur.
Oleh sebagian sejarawan, Raja Sankhara disamakan dengan Rakai Panangkaran, sedangkan ayahnya, yang dalam prasasti tidak disebutkan namanya, adalah Ratu Sanjaya.
Hal itu sejalan dengan pendapat van Naerssen, bahwa Ratu Sanjaya adalah penganut agama Hindu Siwa. Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, pengganti Sanjaya, kekuasaan atas Mataram Kuno direbut oleh wangsa Syailendra yang beragama Buddha Mahayana. Hal sama juga dinyatakan Poerbatjaraka, yang menjelaskan bahwa hubungan Sanjaya dengan Rakai Panangkaran adalah ayah dan anak. Namun, Poerbatjaraka meyakini bahwa Sanjaya dan keturunannya berasal dari wangsa Syailendra. Sedangkan Teori Bosch menyatakan bahwa nama raja-raja Medang atau Mataram Kuno dalam Prasasti Mantyasih, termasuk di antaranya Rakai Panangkaran, adalah anggota wangsa Sanjaya.
Namun, pendapat itu dibantah oleh Slamet Muljana, yang berargumen bahwa daftar raja dalam Prasasti Mantyasih bukan silsilah keturunan Sanjaya saja, tetapi semua yang pernah berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Slamet Muljana meyakini bahwa Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya, melainkan anggota wangsa Syailendra. Pendapat Slamet Muljana didasarkan pada pernyataan Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778. Pada Prasasti Kalasan, dijelaskan bahwa pembangunan Candi Kalasan yang selesai pada tahun 778 diperintahkan oleh Raja Panangkaran dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran.
Hal itu menunjukkan bahwa Rakai Panangkaran adalah keturunan Syailendra pertama di Jawa Tengah yang menggantikan Sanjayawangsa.
Ketika Rakai Panangkaran berkuasa, agama Hindu Sanjayawangsa juga diganti oleh agama Buddha Mahayana yang dianut oleh Syailendrawangsa. Masih menurut Slamet Muljana, pada Prasasti Kalasan, Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata wangsa Syailendra”. Dalam pandangan Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai Rakai Garung adalah anggota wangsa Syailendra. Sementara kebangkitan wangsa Sanjaya baru dimulai kembali ketika Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung. Istilah “Rakai” pada periode Medang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran berarti penguasa di Panangkaran. Sedangkan nama asli Rakai Panangkaran yang ditemukan pada Prasasti Kalasan adalah Dyah Pancapana.
Masa pemerintahan
Ketika Rakai Panangkaran memegang takhta Kerajaan Mataram Kuno, gelar “Ratu” yang pernah digunakan Ratu Sanjaya, dihapus dan diganti dengan gelar “Sri Maharaja”. Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, agama Buddha Mahayana mulai berkembang di Mataram Kuno. Menurut Prasasti Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi untuk memuja Dewi Tara.
Candi yang di dalamnya terdapat patung Dewi Tara ini dikenal sebagai Candi Kalasan karena terletak di Desa Kalasan. Ia juga membangun Candi Sari sebagai wihara untuk para biksu dan biksuni Buddha. Sejak itu, keluarga kerajaan ada yang beragama Hindu dan ada pula yang beragama Buddha. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, sedangkan penganut Buddha berada di bagian selatan.
Setelah hampir empat dekade memerintah Kerajaan Mataram Kuno, Rakai Panangkaran dikabarkan mengundurkan diri dari takhta untuk mengembangkan ajaran agama Buddha. Peristiwa ini tercatat dalam Prasasti Abhayagiriwihara pada tahun 792. Setelah itu, Rakai Panangkaran digantikan oleh Rakai Panunggalan.
Candi yang di dalamnya terdapat patung Dewi Tara ini dikenal sebagai Candi Kalasan karena terletak di Desa Kalasan. Ia juga membangun Candi Sari sebagai wihara untuk para biksu dan biksuni Buddha. Sejak itu, keluarga kerajaan ada yang beragama Hindu dan ada pula yang beragama Buddha. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, sedangkan penganut Buddha berada di bagian selatan.
Setelah hampir empat dekade memerintah Kerajaan Mataram Kuno, Rakai Panangkaran dikabarkan mengundurkan diri dari takhta untuk mengembangkan ajaran agama Buddha. Peristiwa ini tercatat dalam Prasasti Abhayagiriwihara pada tahun 792. Setelah itu, Rakai Panangkaran digantikan oleh Rakai Panunggalan.