Suratkabarnasional.com – Aktivitas pabrik di sejumlah negara kian lesu di tengah tekanan ekonomi global, lonjakan kasus covid-19, serta hantu resesi yang menggentayangi. Pelemahan aktivitas pabrik itu tercermin dari Indeks Pembelian Manager (PMI) manufaktur yang menurun.
China mengalami penurunan PMI dari 50,2 pada Juni menjadi 49 pada Juli kemarin. Realisasi ini di luar ekspektasi para analis yang disurvei Reuters yang memperkirakan bahwa PMI manufaktur China meningkat ke posisi 50,4. Analis menyebut penurunan kinerja PMI manufaktur tersebut mengindikasikan kemakmuran ekonomi di Negeri Tirai Bambu turun. Selain itu, pabrik di China bergulat dengan harga bahan baku yang tinggi yang menekan margin keuntungan di tengah kekhawatiran resesi ekonomi global.
Korea Selatan (Korsel) juga mencatat penurunan aktivitas pabrik di negaranya. PMI manufaktur Korsel turun dari 51,3 pada Juni menjadi 49,8 pada Juli.
Realisasi ini menjadi yang terendah pertama kalinya dalam dua tahun terakhir. Output pabrik-pabrik Korsel turun dalam empat bulan berturut-turut ke tingkat terendahnya sejak Oktober 2021 karena permintaan melemah.
Negara di Asia lainnya yang mengalami penurunan aktivitas pabrik karena kenaikan harga dan gangguan pasokan adalah Jepang. PMI manufaktur negara itu tercatat turun dari 52,7 pada Juni ke posisi 52,1 Juli lalu.
Pertumbuhan manufaktur Negeri Sakura tercatat paling lambat sejak September 2021 lalu dan arus pesanan masuk mengalami kontraksi pertama sejak Februari 2022.
Setali tiga uang, penurunan kinerja manufaktur juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Hasil survei Institute for Supply Management, indeks aktivitas pabrik nasional di negara tersebut turun dari 53 menjadi 52,8 pada Juli lalu.
Meski angka di atas 50 menunjukkan sektor manufaktur di AS masih berkembang, tapi indeks itu merupakan yang terendah sejak Juni 2020. Penurunan ini juga merupakan imbas dari melemahnya permintaan barang yang terjadi akibat lonjakan inflasi.
Di sisi lain, aktivitas pabrik di Indonesia justru tumbuh. PMI manufaktur RI pada Juni 2022 kembali ke level ekspansif 51,3, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 50,2.
Level ekspansif PMI manufaktur telah tercatat sejak September 2021 atau selama 11 bulan beruntun. Bahkan, melampaui beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam 51,2, Filipina 50,8, Malaysia 50,6, dan Myanmar 46,5.
Berdasarkan hasil survei, level ekspansi PMI manufaktur Indonesia mengalami laju peningkatan tertinggi sejak April 2022, umumnya karena ditopang permintaan domestik yang semakin solid.
Aktivitas sektor riil yang semakin bergeliat juga dikonfirmasi oleh hasil survei kegiatan dunia usaha (SKDU) pada kuartal II 2022. Tercatat, nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) sebesar 14,13 persen, lebih tinggi dari SBT Kuartal I 2022 yang hanya sebesar 8,71 persen.
Inflasi Indonesia juga masih relatif terjaga di tengah peningkatan inflasi signifikan di berbagai negara. Pada Juli 2022 inflasi tercatat sebesar 0,64 persen secara bulanan, 3,85 persen (year to date) dan 4,94 persen secara tahunan.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kinerja impresif pada aktivitas sektor riil tadi menjadi bukti ketahanan ekonomi domestik di tengah berbagai tantangan global yang terus berlangsung. Bahkan, kinerja ini berhasil dicapai di tengah potensi perlambatan pemulihan global.
“Tentu pencapaian ini tidak terlepas dari peran berbagai pihak dalam proses percepatan pemulihan aktivitas ekonomi pasca pandemi covid-19, khususnya dalam mendorong peningkatan permintaan domestik dan mendukung kegiatan dunia usaha,” kata Airlangga mengutip Antara, Selasa (2/8).
Oleh karenanya, ia menegaskan pemerintah akan terus mendorong bangkitnya aktivitas produksi, khususnya pada sektor-sektor yang memiliki dampak pengganda yang besar.
Walau begitu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan Indonesia tidak serta merta percaya diri bisa selamat dari resesi karena produksi dan permintaan pabriknya masih baik.
Memang, pertumbuhan industri manufaktur ke depan akan sangat tergantung pada dua hal. Pertama, pemulihan ekonomi dari pandemi. Kedua, tingkat inflasi global dan domestik.
Menurutnya, pemulihan ekonomi global dari pandemi mempunyai dampak kepada permintaan barang manufaktur menuju ke kondisi normal. Selain itu, pembukaan aktivitas produksi manufaktur juga beranjak normal ketika sudah tidak ada lagi pembatasan aktivitas masyarakat.
Namun, terkait faktor inflasi global dan domestik harus diwaspadai. Pasalnya, inflasi global yang belakangan melanjok dapat memicu penurunan kinerja manufaktur Indonesia. Belum lagi inflasi RI yang terus meningkat setiap bulannya. Inflasi Juli yang mencapai 4,94 persen juga tertinggi sejak 2015.
“Menurut saya bukan cuman level saat ini yang dilihat tapi perkembangan yang saya rasa sudah ada sinyal bahaya, bukan lagi moderat. Ke depan saya rasa inflasi bisa lebih tinggi lagi yang bisa mengganggu pemulihan ekonomi,” ujar Nailul
Ia juga mewanti-wanti harga energi yang terus melambung bisa berimbas pada kenaikan ongkos produksi. Ketika harga per unit dari barang produksi lebih tinggi dari permintaan, kata Nailul, akan terjadi perlambatan ekonomi. Ini yang perlu diperhatikan.
Oleh karena itu, ia pun memprediksi inflasi Indonesia bisa tembus ke level 5 persen yoy pada Agustus ini.
“Kondisi harga energi global yang belum turun signifikan bisa menjadi pendorong inflasi menjadi lebih tinggi. Ditambah Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan yang menjadikan inflasi tidak ada yang menahan,” imbuh Nailul.
Dengan demikian, ia menuturkan agar Indonesia tidak ‘ketularan’ penurunan PMI dan terhindar dari resesi, pemerintah perlu meningkatkan pasokan bahan baku industri manufaktur dari dalam negeri. Hal ini dilakukan demi menekan ongkos produksi.
Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan insentif penghapusan bea impor. Tapi, ini hanya berlaku untuk produk-produk strategis saja.
“Kalo belum bisa dipenuhi ya sudah pasti naik ongkos produksinya,” kata Nailul.
Segendang sepenarian, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan Indonesia tidak boleh terlena. Pemerintah perlu mewaspadai risiko dari ekonomi global yang bisa berdampak ke perekonomian domestik.
Ia berpendapat perlambatan PMI di negara-negara tadi pun dapat berimbas ke Tanah Air. Pasalnya, PMI menggambarkan permintaan dari masing-masing negara tadi, sehingga kinerja ekspor Indonesia ke negara tersebut bisa menurun.
“Sehingga saya pikir yang bisa berdampak ke Indonesia adalah kinerja neraca dagang kita. Untungnya, kita tidak begitu bergantung terhadap perdagangan internasional dalam konteks perekonomian, sehingga dampak yang diberikannya pun saya kira relatif lebih kecil,” kata Yusuf.
Kendati begitu, sambung Yusuf, yang perlu diwaspadai adalah sektor keuangan. Sebab, perlambatan PMI dan potensi resesi yang bisa terjadi di negara-negara tersebut, volatilitas di pasar keuangan bisa menjadi lebih tinggi.
“Hal ini saya kira juga bisa mendorong terjadinya capital outflow dan pada muaranya ini juga akan berdampak terhadap pergerakan dari nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Menurut Yusuf, dalam konteks ini langkah mitigasi di sisi moneter menjadi penting.