Suratkabarnasional.com – Insiden ledakan dan kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara menjadi sorotan karena jarak objek vital tersebut sangat dekat dengan permukiman warga Tanah Merah, sehingga menimbulkan banyak korban jiwa.
Insiden kebakaran hebat tersebut terjadi dan merembet ke wilayah di sekitarnya pada Jumat (3/3/2023) malam, sekitar pukul 20.20 WIB. Api baru berhasil dipadamkan sekitar pukul 22.00 WIB.
Muncul solusi dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin hingga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang mengatakan Depo Plumpang harus dipindahkan ke lahan milik Pelindo. Pembangunan depo baru diperkirakan dimulai pada akhir 2024, serta membutuhkan waktu kurang lebih 2 tahun hingga 2,5 tahun. “Kami juga sudah merapatkan bahwa kilang (depo BBM) akan kita pindah ke tanah Pelindo. Kita sudah koordinasi dengan Pelindo lahannya akan siap dibangun akhir 2024,” kata Erick dalam video pernyataan resmi, Senin (6/3/2023).
Erick mengaku respons tersebut dipilih usai Presiden Joko Widodo mengatakan harus ada solusi agar kebakaran depo Pertamina tidak berulang. Meski diklaim sebagai sebuah solusi, nyatanya masih banyak objek vital Pertamina lain yang juga berdekatan dengan permukiman. Pertama, ada kilang minyak Pertamina di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, yang juga pernah terbakar pada 29 Maret 2021. Setidaknya 20 orang luka-luka akibat kebakaran tersebut.
Kedua, TBBM Cikampek di Karawang, Jawa Barat, yang hanya dibatasi tembok dengan permukiman warga. Ketiga, TTBM Tanjung Gerem, Banten, yang juga berdekatan dengan permukiman di Gang Kamboja. Keempat, TBBM Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat. Objek vital ini juga dekat dengan rumah warga, di mana pemisahnya hanya Jalan Gedebage Selatan dan Jalan Gedebage Wetan di sebelah barat.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengamini fenomena permukiman warga yang menjamur di banyak objek vital pemerintah, tidak hanya Pertamina. Ia mencontohkan bagaimana warga nekat membangun rumah di kiri-kanan rel kereta api. Menurutnya, di mana ada tanah kosong milik pemerintah, di situ bakal muncul warga yang menyerobot dan membuat permukiman liar. Fabby lantas mempertanyakan kenapa ada pembiaran dari pemerintah.
Menurutnya, apa yang terjadi di kawasan Depo Plumpang adalah kesalahan kolektif. Ia bahkan mempertanyakan mengapa kepala depo melakukan pembiaran ketika warga mulai menduduki tanah kosong di sekitar objek vital Pertamina tersebut. “Jadi harus lihat siapa yang keliru, kalau bangunan ya lihat siapa dulu yang mengeluarkan IMB atau kalau tanpa IMB kenapa tidak ada koreksi? Tetap dibiarkan orang tinggal di sana berpuluh-puluh tahun, beranak pinak di situ,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/3/2023).
Berdasarkan catatan, Anies Baswedan mengeluarkan IMB di permukiman Tanah Merah, Rawabadak, Jakarta Utara, pada 2021. Saat itu, Anies masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. “Kenapa Anies mengeluarkan (IMB)? Kan kalau mengeluarkan IMB harus ada bukti kepemilikan tanah, aturannya ada. Kalau dikeluarkan IMB tanpa bukti kepemilikan tanah itu kan berarti dia melanggar peraturan juga dong gubernur zaman itu,” tegas Fabby.
Fabby menekankan seharusnya pemerintah sejak awal tegas dan melakukan penertiban warga yang nekat menyerobot tanah-tanah kosong tersebut. Masyarakat kelas apapun harus diberikan sanksi jika menempati lahan yang bukan miliknya demi taat hukum. Di lain sisi, Fabby menilai sulit jika harus tiba-tiba menggusur warga Tanah Merah saat ini karena hal tersebut tidak manusiawi. Ia menyarankan pemerintah menyiapkan alternatif, tetapi bukan memindahkan Depo Plumpang.
“Jadi yang harus direlokasi itu masyarakat yang mendiami tanah yang bukan haknya, bukan (depo) Plumpang. Orang itu asetnya Pertamina kok. Masa sekarang ngalahnya sama penyerobot lahan? Yang benar saja,” kritik Fabby. “Pemerintah juga jangan kayak begitu, Menteri BUMN, Wapres. Jadi jangan mudah juga permisif terhadap pelanggaran hukum. Masyarakat ini menempati lahan yang bukan miliknya kok malah deponya yang disuruh pindah, itu tanah milik Pertamina sah,” sambungnya.
Fabby menyarankan pemerintah menetapkan buffer zone atau safety distance zone di kawasan depo tersebut. Bagi masyarakat yang masuk dalam zona jarak aman depo maka perlu direlokasi. Ia menyayangkan keputusan reaktif pemerintah yang mengatakan bakal merelokasi Depo Plumpang ke kawasan milik Pelindo. Fabby menekankan seharusnya pemerintah jangan kalah dengan penyerobot lahan.
“Gak bisa reaktif. Jadi jangan bikin keputusan reaktif hanya sekadar nyeneng-nyenengin orang. Harusnya pejabat tegas saja. Pejabat-pejabat itu jangan mau populis saja karena mau pemilu terus kemudian bikin tingkah aneh-aneh gitu,” tandasnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga mengatakan masyarakat memang cenderung bermukim di area-area dekat kawasan industri, bahkan pada area yang awalnya tidak ada permukiman sama sekali.
Menurutnya, hal ini menjadi masalah ketika sikap pemerintah daerah (pemda) setempat kurang tegas. Daymas menegaskan seharusnya pemda tidak memberikan izin untuk warga bermukim di kawasan yang memang tidak diperuntukkan untuk permukiman. “Kita perlu melihat kasus-kasusnya, bisa jadi (tanggung jawab) pemda atau pemerintah pusat, atau keduanya. Atau bahkan BUMN-nya juga punya andil. Untuk itu (kasus Depo Plumpang) tanggung jawab pemda. Pemda seharusnya dapat mengacu pada RT/RW dan merelokasi warga yang sudah terlanjur bermukim di sana,” katanya.
Daymas menegaskan pemerintah harus konsisten dan tegas terhadap rencana tata ruang wilayah. Menurutnya, merelokasi warga di kawasan Depo Plumpang adalah pilihan strategis. Menurutnya, jika depo dipindahkan ke tanah Pelindo, dampak ekonomi di mana dibutuhkan investasi yang begitu besar. Namun, ia tak mempermasalahkan di mana dua objek vital digabung dalam satu kawasan, asalkan sudah mengikuti proses keamanan. Di lain sisi, Daymas menyebut pemerintah perlu melihat kebutuhan dan ketersediaan lahan jika opsi relokasi permukiman dipilih. Pasalnya, lahan di Jakarta sudah semakin terbatas.
Peneliti International Institute for Sustainable Development (IISD) Anissa Suharsono lantas menyoroti sistem manajemen risiko dari Pertamina di balik kebakaran Depo Plumpang dan kejadian sejenis yang berulang. Meski telah dilakukan sejumlah upaya pembenahan dan mitigasi, Anissa menilai root cause dari masalah bisa saja belum teridentifikasi secara tuntas sehingga langkah-langkah preventif dan mitigasi yang dilakukan Pertamina tidak efektif.
“Keputusan yang dibuat terburu-buru tanpa studi yang matang, baik itu memindahkan depo maupun masyarakat setempat, tidak menjamin masalah yang sama tidak akan berulang, bahkan mungkin malah menimbulkan masalah baru,” komentar Anissa. Senada, Analis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna meminta Pertamina menginformasikan status semua fasilitas mereka yang terindikasi memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan publik dan rencana penanggulangannya.
“Selagi perhatian publik tersedot ke kasus Plumpang, audit terhadap aset-aset lainnya diperlukan segera, karena bisa jadi kita berhadapan dengan sebuah fenomena gunung es dengan potensi risiko lain yang menunggu waktu, terlebih mengingat kejadian yang berulang di berbagai fasilitas Pertamina dan juga usia dari berbagai fasilitas mereka,” ungkap Putra. Ia menganggap arahan pemerintah merelokasi depo akan lebih mudah. Namun, langkah tersebut harus dibarengi pembacaan risiko di fasilitas Pertamina lainnya karena dapat menciptakan preseden bagi masyarakat di tempat sekitar Pertamina yang lain.
Sementara itu, Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Mhd Zakiul Fikri menganggap kondisi ekonomi dan menyempitnya lahan menjadi beberapa faktor mengapa warga nekat membangun permukiman di atas lahan yang berada dalam radius tidak aman. Di lain sisi, Fikri menilai pemda teledor karena memberikan IMB kepada warga Tanah Merah. Padahal, secara administrasi pemerintah sudah tahu bahwa peruntukan area tersebut tidak layak untuk permukiman warga.
“Pemberian IMB memberi sinyal bahwa pemerintah daerah, yang menerbitkan IMB, mengakui tempat tersebut layak huni. Namun, sebaliknya berakibat fatal bukan hanya terhadap kenyamanan, tetapi juga keselamatan warga setempat,” tutur Fikri. Ke depan, Fikri menyarankan semua pihak untuk tertib administrasi. Ia meminta fungsi dan kegunaan lahan di kawasan depo tersebut dikembalikan sesuai hak semestinya, lalu dicocokkan dengan rencana tata ruang wilayah daerah.
Ia mengatakan warga yang tinggal di dekat objek vital Pertamina tersebut perlu diajak berembuk. Mau tidak mau, mereka yang terbukti berada di area yang masuk zona penyangga harus direlokasi. “Selanjutnya, pemerintah lewat kementerian terkait perlu mengawasi dengan ketat apakah perusahaan mendirikan bangunan industrinya sesuai dengan standar yang seharusnya atau tidak, misal terkait dengan pembangunan buffer zone yang terhindar dari pemukiman warga,” jelas Fikri.
Fikri juga mempertanyakan jika opsi yang dipilih malah memindahkan Depo Plumpang ke tanah Pelindo. Selain memakan waktu, proses itu juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah perlu adanya studi kelayakan. Ia meminta pemerintah jangan terlalu reaktif menyikapi peristiwa kebakaran Depo Plumpang dengan sekonyong-konyong membuat keputusan pemindahan aset ke area lain.