Surat Kabar Nasional.com Laju ekonomi Indonesia melambat jelang akhir era Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto berambisi meraih pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Perlambatan laju perekonomian Indonesia terlihat dari banyak sisi. Salah satunya, deflasi tiga bulan berturut-turut sejak Mei 2024 hingga Juli 2024 yang menjadi sinyal lemahnya daya beli masyarakat.
Belum lagi badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tak berujung. Sampai pertengahan tahun ini, sudah 32.064 orang yang kebingungan harus makan apa usai kehilangan mata pencaharian.
Ironis, para tuna karya bertumpuk di DKI Jakarta, ibu kota yang diharapkan bisa mengubah nasib mereka. Ada 7.469 orang harus gigit jari, luntang-lantung tak punya kerja dan gaji.
Ketidakberpihakan pemerintah dipertegas dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan uji materiil UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Batas usia kerja mempersempit gerak rakyat kecil dan diskriminatif.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda yakin betul target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen hingga akhir 2024 akan meleset. Terlebih, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi kuartal II 2024 hanya tumbuh 5,05 persen secara tahunan (yoy), lebih rendah dari kuartal II 2023 yang mencapai 5,17 persen.
“Masalah daya beli masih menjadi pekerjaan rumah (PR) utama pemerintah untuk mem-boosting pertumbuhan ekonomi kita. Berbagai indikator menunjukkan berbagai permasalahan terkait dengan daya beli masyarakat,” ucap Huda kepada CNNIndonesia.com, Senin (5/8).
Bukan cuma deflasi, simpanan kelas menengah juga anjlok. Huda menegaskan ini sinyal pelemahan daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah, mereka yang diapit si kaya dan miskin.
Perlambatan laju ekonomi Indonesia menjalar kepada purchasing manager index (PMI) yang juga melemah dan lesunya industri manufaktur. PHK menjadi salah satu muara bobroknya pemerintahan Jokowi.
“Faktor deflasi banyak dari sisi demand. Masyarakat sudah menunjukkan penurunan daya beli sejak awal tahun. Pembelian mobil baru semakin menurun, konsumsi rumah tangga kelas menengah juga sudah mulai didominasi sektor pangan,” jelasnya.
Minim daya beli membuat produksi menurun, perlambatan pun terjadi, PHK dan pengangguran kemudian membludak. Kelas menengah jelas bonyok dihantam sana-sini.
Bom waktu yang diwariskan Jokowi membuat Prabowo sulit bergerak. Huda menekankan khayalan sang presiden terpilih bisa mengerek pertumbuhan ekonomi 8 persen menjadi mustahil.
“PR besar menanti Prabowo yang ingin menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, yang bisa saya bilang mustahil untuk diwujudkan, dengan kondisi kebijakan seperti ini,” tegasnya.
Apalagi, ia melihat fokus pemerintahan Prabowo lebih ke jangka panjang, yakni pangan dan pertahanan. Ini jelas tidak bisa memberikan stimulus ekonomi dalam waktu singkat.
Kebijakan industri yang selama ini dibangga-banggakan Jokowi, yakni hilirisasi, juga dinilai tak abadi. Huda mewanti-wanti langkah itu akan sangat tergantung kondisi global.
“Maka, reindustrialisasi diperlukan untuk bisa mengejar pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pembangunan mulai dari sisi hulu hingga hilirnya, dengan menciptakan permintaan dalam negeri yang kuat,” saran Huda.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pertaruhan ekonomi di akhir era Presiden Jokowi tergantung bagaimana pemerintah bersikap. Menurut Yusuf, menjaga momentum inflasi dan realisasi belanja pemerintah bakal amat berpengaruh di sisa dua kuartal 2024.
Perihal mimpi Prabowo membawa ekonomi Indonesia tumbuh 8 persen, Yusuf menyebut ada sektor manufaktur yang kudu betul-betul dipelototi. Industri ini melambat dalam dua periode Jokowi, yang akhirnya membuat perekonomian Indonesia gak karuan.
“Jadi, untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti yang ingin dicapai oleh presiden terpilih Prabowo, salah satu upaya yang kemudian bisa dilakukan adalah memastikan kinerja (ekonomi) itu bisa tumbuh setidaknya di atas 6 persen,” pesan Yusuf.